Sewaktu saya masih duduk di Sekolah Dasar , menggambar adalah salah satu pelajaran favorit saya, karena saya tidak perlu menghafalkan, sampai saat memutuskan jurusan di Perguruan Tinggi pun di pikiran saya masih terdoktrin untuk memilih jurusan yang tidak banyak hafalan dan syukurlah diterima di Teknik Arsitektur ( pikir saya akan banyak menggambar jadi gak perlu banyak menghafalkan, meski setelah nyemplung di Teknik Arsitektur ternyata yang saya bayangkan tidak terjadi, sebaliknya hampir semua mata kuliah diuji hafalan T.T ).
Melihat ketertarikan saya menggambar, sedari kecil ortu mendaftarkan saya pada kursus-kursus menggambar, bahkan sampai sekarang masih melekat di ingatan lokasi kursusnya. Salah satunya merupakan toko buku dengan tempat kursus gambar di lantai dua. Selain bangga karena tiap anak bisa memajang hasil karyanya di area umum, kesenangan yang lain adalah saat menunggu jemputan bisa membaca buku yang dipajang di lantai satu dengan cuma-cuma.
Alhasil kursus menggambar tidak membuat saya jadi ahli menggambar, saya tidak bisa menghasilkan suatu karya otentik, di masa kursus saya hanya sebatas bisa meniru gambar yang dicontohkan, termasuk sketsa awal dengan spidol hitam, teknik mewarnai krayon dengan digosok-gosok supaya warnanya tercampur. Hingga pemilihan warna seperti yang pengajar contohkan, misal warna langit ungu-biru-pink, atau jingga-kuning-merah. Di masa SMP hingga kuliah pun , berbagai hal teknis untuk menghasilkan seni ( khususnya seni rupa ) sibuk dipelajari dan dihafalkan. Seperti teori perspektif satu titik lenyap dan dua titik lenyap, isometri, hingga nama-nama seniman beserta karya dan masanya.
Konsep belajar seni menjadi sesuatu kegiatan yang membosankan, rumit dan sekaligus terabaikan. Pelajaran seni dinilai bukan suatu pelajaran penting, derajatnya jauh di bawah pelajaran sains, dianggap tidak bisa menjadi suatu pekerjaan yang menghasilkan uang. Paradigma seperti ini berlawanan dengan apa yang Charlotte Mason kemukakan. Seni lebih bersifat rohani daripada sekedar teknis dan mekanis. Sedangkan pendidikan seni di persekolahan saat ini fokus pada hal-hal teknis dan drill mekanis , seperti latihan menggambar garis free-hand, latihan menggambar bayangan, latihan menggambar perspektif mata burung, mata cacing, mata manusia, dan masih banyak teori teknis mekanis lainnya.
Seperti halnya seorang arsitek bukanlah seorang yang ahli menggambar dengan sudut dan goresan yang perfeksionis, namun dia sanggup menciptakan sebuah konsep arsitektur dengan mempertimbangkan filosofi di baliknya, desain yang bisa mengakomodir perilaku dan psikologi pengguna namun juga tidak menghilangkan keindahan estetis itu sendiri. Sebaliknya seorang drafter cukup untuk menguasai teknik guna mencoretkan pemikiran sang arsitek ke dalam bentukan yang enak dilihat. Misalkan saat Moshe Safdie merancang Jewel Changi, bandingkan sketsa konsep awal dengan gambar kerja dan presentasinya.
Memang untuk menjadi seniman profesional hal-hal teknis tidak mungkin diabaikan, namun seperti yang CM katakan, pondasi untuk bisa menikmati dan mengapresiasi suatu karya seni jauh lebih penting. Bagaimana kita dapat mengapresiasi seni bagus atau tidaknya bila tak ada pengalaman atau mempelajari seni sebelumnya. Keindahan seni tidak bisa dipandang secara pasti seperti sains , seni tidaklah sama di mata semua orang namun seni itu universal..
Hal ini juga berlaku untuk seni-seni dan turunan lainnya. Tidak perlu menjadi ahli memainkan piano untuk bisa menikmati musik, ataupun menjadi aktris atau sutradara untuk bisa menikmati film. Dengan adanya dasar-dasar seni kita bisa lebih melihat sejarah, falsafah, ekspresi sekaligus pesan yang ingin seniman sampaikan di balik suatu karya seni lukisan, musik maupun film. Kita tidak sekedar hanya melihat bagus atau jelek karya seni, namun ada kepuasan tersendiri saat menikmatinya. Bukankah hal seperti itu yang bikin hidup lebih hidup ^.^
Indri - Juni 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar