Rabu, 05 Mei 2021

Penyeragaman Pendidikan = Penyeragaman Pikiran?

Narasi Kamisan - April 2021


Tujuan pendidikan adalah mengembangkan “bagian-bagian akal budi” (faculties) karena ia telah bisa menyadari bahwa akal budi itu utuh dan lengkap dan tidak butuh disuplai apa pun selain makanan yang tepat. Dibutuhkan kurikulum yang luas, kaya,  beragam yang diperoleh lewat pustaka hidup  untuk menghasilkan seorang warga negara yang cendekia dan berjiwa besar. Setiap anak dari mana saja bisa mendapatkan pengetahuan yang demikian. Bahkan semua anak dapat dilatih mempunyai daya perhatian yang besar melalui prinsip sekali baca dan narasi. 



Para penulis lewat karyanya yang terus hidup punya tujuan untuk mendidik ras manusia. Meskipun menggunakan buku yang sama, bacaan yang sama, karya seni yang sama , kisah heroik yang sama, bisa jadi pemikiran yang didapat tiap anak bisa berbeda. Terkesan seperti penyeragaman, namun tiap anak itu unik dan punya pikiran masing-masing ( dan tidak seragam). Tugas orang tua dan para pendidiklah yang mempersiapkan asupan-asupan ( bacaan-bacaan) berkualitas tinggi dan sastra, alih-alih hanya memberikan buku teks atau buku yang digampangkan kepada anak. 

Saya menemukan sebuah kata pengantar yang menarik dalam buku James Joyce yang berjudul "Ibunda". Mengutip kalimat Italo Calvino, sastrawan terkemuka Italia, dalam esainya berjudul "Mengapa Membaca Karya Klasik" (1999), dia mengatakan :

"Alasan utama membaca karya klasik adalah 
karena membacanya lebih baik daripada tidak membacanya."

Melalui teks-teks sastra, terkadang kita disadarkan bahwa apa yang terjadi jauh di ujung dunia sana ternyata pada hakikatnya memiliki makna yang relevan dengan apa yang terjadi dekat di sini, dalam kenyataan hidup kita sehari-hari, entah itu berupa persoalan ketidakadilan, kisah cinta sepasang anak manusia, maupun ilusi-ilusi personal seorang individu. Semua itu membalik kesadaran kita akan adanya sebuah pijakan bersama di balik perbedaan-perbedaan yang tampak bahwa, sesungguhnya kita adalah satu dalam semesta kemanusiaan. 

Karya klasik yang ditulis ratusan tahun yang lalu, di belahan bumi yang berbeda, namun tidak menghalangi pembaca masa kini untuk bisa berimajinasi dan berelevansi terhadap kehidupan masa lalu. Bisa saja saat kita sudah banyak membaca buku klasik dengan banyak tokoh, kemudian kita akan melupakan kisah itu, namun suatu hari pasti bisa saja mereka 'kembali' hidup di benak kita. Penulisnya memang sudah lama meninggal, bahkan suatu hari nanti kita sebagai pembacanya juga akan meninggal, namun tulisan-tulisan mereka tetap akan terus hidup hingga ratusan tahun lagi. Seiring berjalan waktu, teknologi dan juga intelektual manusia, karya klasik terus hidup dan menjadi pagar-pagar humanis di tengah situasi yang terus berubah. Itulah sebabnya karya sastra klasik menjadi hal wajib dalam kurikulum CM. Bukankah masa lalu juga yang membentuk masa kini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar