Minggu, 19 April 2020

Living books Sebagai Asupan Budi

Sabtu malam, tim Charlotte Mason Indonesia - Jakarta ( CMid Jakarta ) menggelar workshop online "Mengasupi Budi dengan Living Books", dengan Mbak Ayu dan Mas Dodit sebagai narasumber. Walaupun saya sendiri memulai berkenalan dengan metode Charlotte Mason ( CM )  sudah cukup lama namun memang soal living books ini tidak akan pernah tuntas dipelajari, begitulah keunikan dari CM. Masih banyak hal baru yang saya dapatkan dari workshop semalam dan membuat saya lebih memahami esensi  sebuah living books.




Living books merupakan buku yang penuh dengan ide-ide berharga sehingga menggerakkan anak / pembaca untuk bisa mengingat, merefleksikan dan memvisualisasikan di benaknya. Ide-ide tersebut tidak mudah menguap begitu saja namun karena dengan keberhasilan anak mengimajinasikan maka akan tertanam di dalam benaknya walaupun sudah lama membacanya. Living books  biasanya dituturkan dalam bentuk naratif, bahasa yang digunakan indah sehingga bisa 'menyihir' pembaca untuk ikut masuk dalamnya. Penulis living books juga adalah orang yang benar-benar berelasi dengan apa yang ditulisnya,  sehingga secara tidak langsung pembaca  turut menjalin relasi dengan bacaan dan penulis.

Membaca living books sedikit berbeda dengan membaca koran ataupun buku informatif,  membaca living books dengan pelan membantu kita untuk memahami pesan yang disampaikan, jadi membacanya  bukan untuk sekedar mendapat informasi tapi kita butuh merelasikan apa yang bisa  pahami dari buku itu dan pengetahuan-pengetahuan yang hidup dari yang sudah kita ketahui. Sebagai contoh, saat membaca Alice in Wonderland, saat membaca biasa ya rasanya sekedar sebuah petualangan anak perempuan dan mahkluk-makhluk aneh. Namun jika dibaca secara literal dan pelan ini bukan sekedar keajaiban sebuah negri tapi lebih kompleks dari itu, ada maksud lain yang ingin disampaikan.

Buku anak yang banyak ditemui sekarang dihiasi dengan ilustrasi menarik yang berwarna-warni namun justru mengandung pesan moral  terlalu eksplisit  dan menggurui , maka tidak bisa dikategorikan living books , karena tidak meninggalkan ruang berpikir untuk anak , cerita sudah lebih dulu disimpulkan. Cerita  Peter Rabbit - Beatrix Potter  termasuk living book karena satu anak dengan anak yang lain punya pendapat atau pikiran yang berbeda setelah membacanya.  Ada anak yang anggap Peter itu nakal, namun ada juga yang membela Peter. Dari situ terlihat bahwa cerita yang disajikan membuat anak lebih siap jika menemui kejadian seperti itu, tidak seperti buku menggurui , yang selalu memunculkan yang baik-baik saja. 


Living books yang banyak dipakai saat ini  sebagian besar memang masih berbahasa Inggris, terutama untuk buku-buku yang direkomen oleh situs Ambleside Online, ditambah minimnya ketersediaan living books berbahasa Indonesia,  membuat para orang tua mau tidak mau membaca living books berbahasa Inggris tersebut. Untuk membacanya tidak perlu diterjemahkan dulu ke bahasa Indonesia, cukup baca dari versi aslinya. Kita jangan remehkan kemampuan ataupun sekali-kali meragukan kemampuan anak untuk memahami sesuatu. Tapi tetap saja sebelum membacakan untuk anak, ortu harus lebih dulu pahami supaya cerita tersebut bisa benar-benar hidup. Jadikan juga saat membaca kesempatan membangun ikatan dengan anak. Karena menurut CM pendidikan itu atmosfer maka saat orang tua sudah paham duluan maka secara tidak langsung akan menularkan hal yang sama kepada anak. 

Saat membaca buku-buku hidup kita akan melintasi ruang dan waktu tak terbatas, bertemu dengan banyak perisitwa, bertemu dengan banyak tokoh dan pengalaman. Demikian pula saat anak membaca , dia akan menambah pengalaman baru tanpa mengalami kejadian itu secara langsung. Sebagai contoh , saat membaca buku Atuk ( karya Mischa Damjan ) dikisahkan seorang anak yang punya seekor anjing, suatu hari anjingnya dibunuh serigala. Dari situ si anak menjadi dendam kepada serigala dan bersikukuh untuk membunuh serigala tersebut. Singkat cerita dengan segala cara si anak berusaha menguatkan badan supaya berhasil membunuh serigala dan usahanya berhasil. Setelah serigala tersebut mati, si anak kecewa juga karena pembunuhan  tersebut tidak membuat anjingnya hidup kembali. Setelah membaca Atuk , anak juga turut belajar tentang dendam dan bahwa dari mendendam tidak ada hasil, ujung-ujungnya semua hanya kesia-siaan. Anak juga bisa merefleksikan situasi yang dia alami dengan living book yang pernah dibacanya , misalnya saat ini dimana kita harus di rumah saja dengan adanya wabah covid-19 , anak bisa menarik benang merah dengan buku Dear Kitty- Anne Frank yang situasinya mirip, dimana tidak bisa keluar , harus berusaha mengirit makanan yang ada, anak juga belajar saat ini di luaran ada beberapa orang juga berjuang untuk tetap bisa hidup di tengah krisis. 


Bagi anak usia dini ( year 0 ) , membacakan  living books sangat penting menabur ide , walaupun kita tidak tahu kapan ide tersebut akan tumbuh, antar anak satu dengan yang lain tidak akan sama , bisa saja ada ide yang langsung tumbuh keesokan harinya, minggu depannya atau bisa saja beberapa tahun kemudian baru tumbuh. Living books akan menjadi pondasi kuat sebelum masuk usia terstruktur, yang nantinya juga akan menjadi dasar untuk anak narasi. Dari sebuah living books anak dapat merelasikan dengan hal-hal yang dia temui juga di alam, contohnya saat membaca kisah ulat yang dititipi telor oleh kupu-kupu. Jadi sewaktu anak melihat ulat, ide yang pernah dia dapatkan dia yakini bahwa ulat tersebut akan menjadi kupu-kupu. Maka inilah pentingnya paparkan anak dengan banyak ide , karena suatu hari ide tersebut pasti akan terpecik dengan sendirinya di pikiran anak. Tidak perlu takut anak terpapar dengan banyak ide, apalagi berpikiran bahwa terlalu banyak ide membuat anak jadi tidak punya ide sendiri. Namun sebaliknya dengan banyak ide , membuat anak juga bisa mengeluarkan potensinya, contohnya : Soekarno, tidak dipungkiri tokoh Nasional tersebut juga hidup dari banyak pasokan ide dari buku-buku  hebat yang pernah dia baca, dia tidak serta merta punya ide sendiri , sehingga bisa melahirkan ide hebatnya sehingga. Tanpa disediakan buku-buku yang terbaik dan berkualitas, anak akan sembarangan melahap hal-hal di sekitarnya, karena anak selalu butuh mengisi kekosongan di dalam budinya. 

Ada kalanya anak tidak langsung mau dibacakan atau membaca living books, khususnya apabila tidak ada gambar, semuanya tulisan, maka tugas orang tua untuk memancing ketertarikan anak akan living books. Maka , lagi-lagi orang tua harus paham dan refleksi dulu buku living books yang dibaca dan dapatkan satu buku yang bisa membuat anak keluar dari zona nyamannya.  Begitu ada satu buku berhasil menarik minat anak, bukan hal sukar untuk lanjut ke buku lain. Tahap awalnya, bacakan sesedikit mungkin saat memulai membacakan living books, mulai dari start small dan jadikan itu sebagai habit,  sehingga nantinya anak akan terbiasa. Sampai anak masih menolak, berarti orang tua harus benahi dulu habit of obedience. Kita harus yakin dulu, kalau baca living books itu sangat penting, seperti halnya makan sayur dan buah. Setelah kita yakin , kita pasti akan berusaha sedemikian rupa untuk menemukan cara bagaimana supaya anak kita juga mendapatkan bacaan yang terbaik. 

Salah satu keunggulan dari living books adalah dengan sebuah buku anak bisa menjalin langsung dengan beberapa ilmu , misalnya saat membaca James Watt, anak bisa mengkaitkan dengan sejarah, biografi, dan science. Membaca Animal Farm, bukan hanya sebagai fabel namun juga ada makna filosofis dan politis. Membaca Pemburu Kuman, anak merasakan langsung kehidupan berbagai tokoh penemu dan penelitiannya. Living books membuat kita tidak menyekat-nyekat antar ilmu satu dengan ilmu yang lain, kita bisa menarik keterkaitan dan merelasikannya satu sama lain.  Seperti juga halnya buku sejarah , dan sebenarnya Indonesia punya banyak buku sejarah yang bagus, namun lagi-lagi sukar ditemukan dan sudah banyak yang punah. Buku sejarah yang bagus  adalah yang bisa membuat anak berimajinasi dan berelasi dengan kehidupan di masa itu, walau bahasa yang digunakan sederhana tapi tetap bisa menghidupkan imajinasi anak, sayang sekali banyak buku teks sekarang yang hanya berisi fakta sehingga cepat menguap dan  anak tidak punya kesempatan memvisualkan di benaknya.

Berbeda halnya dengan living books, ensiklopedia tidak dapat digolongkan menjadi sebuah living books tapi juga tidak haram. Anak sah-sah saja membaca ensiklopedia, asal pondasi pemahaman livingbooksnya sudah kuat, sehingga ensiklopedia juga menjadi pelengkap informasi, bacaan bebas ataupun bahan pendukung. Demikian juga twaddle, bukannya tidak boleh sama sekali, seperti halnya makan jajanan micin, karena kalau orang tua melarang sama sekali, toh anak juga akan tahu dan bisa mencicipi dari anak yang lain, tapi kembali lagi sebelum kenalkan twaddle pastikan dulu pondasi anak akan living books sudah kuat.

Lain lagi halnya dengan abridged/ringkasan, yang mana paling banyak diambil dari cerita-cerita populer, sebagai contoh Robinson Crusoe, banyak ditemui versi saduran-sadurannya, dan bahkan dari saduran masih ada sadurannya yang lain. Gampangnya abridged ini diibaratkan sebagai makanan yang kurang bumbu, mengganti kualitas dagingnya dengan bukan daging yang terbaik, proses memasaknya juga tidak sempurna, otomatis rasa bahasa abridge sudah berbeda jauh dengan buku aslinya yang sebenarnya adalah living books. 

Intinya living books bertujuan mengasup anak dengan ide-ide besar dan hanyalah sebagai  sarana mencapai untuk tujuan pendidikan anak, living books bukanlah tujuan itu sendiri. Jadi bukan seberapa banyak anak tahu atau sudah seberapa banyak living books yang dibaca, tapi seberapa banyak anak bisa menjadikan dirinya bermakna, berguna bagi masyarakat, mangnanimous, berpikiran besar , bisa jadi berkat untuk alam dan negara. 

Children must have books, living books; thebest are not too good for them ;
anything less than the best is not good enough. 

~ Charlotte Mason ( vol 2, hlm. 279 )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar