Senin, 17 Agustus 2020

Antara Imajinasi dan Visual (Narasi Geografi Bagian 3)

Masih ingatkah? sewaktu mempelajari geografi, salah satu pertanyaan wajib adalah : dimana letak Indonesia ? Kemudian kita diharuskan menjawab : "Indonesia terletak di antara benua Asia dan Australia, berada pada 6°LU-11° LS dan 95° BT-141° BT,  dilewati oleh garis khatulistiwa sehingga beriklim tropis." Memang selama di bangku sekolah, sebagian besar yang kita pelajari tentang geografi adalah data-data yang bersifat statistik dan numerik, bisa diukur dan diseragamkan. Seperti halnya metode pembelajaran geografi secara inferensial, dimana kita "melihat" sebuah gunung dengan diukur tingginya dari permukaan laut, misalnya Gunung Bromo mempunyai ketinggian 2.329 mdpl ( meter di atas permukaan laut ), Gunung Tangkuban Perahu mempunyai ketinggian 2.084 mdpl , Gunung Merapi 2.930 mdpl, dan seterusnya. Demikian pula untuk menggambarkan kedalaman laut ataupun samudra disajikan dalam bentuk angka / statistik. Bahkan tak ketinggalan,  jumlah penduduk, penyebaran penduduk dan keragaman suku semua dinyatakan dalam angka. Cara seperti ini tidak membuahkan imajinasi dan bukan pembelajaran yang menarik. Sangat berbeda dengan metode panoramik , yang sempat saya bahas sebagian di tulisan sebelumnya. 

Melalui metode panoramik, siswa akan mengenali lansekap seluruh dunia, wilayah demi wilayah, di hadapan siswa dan untuk setiap wilayah ia mendalami mulai dari kondisi iklim, produk yang dihasilkan, penduduknya, pekerjaan dan sejarah mereka. Metode panoramik membentuk gambar ilustrasi yang paling awet tinggal dalam pikiran kita adalah ilustrasi yang dikonstruksi oleh imajinasi kita sendiri dari membaca deskripsi tertulis. ( CM Vol 6, hlm. 228 )

Mulai tingkat IV , siswa mulai mempelajari benua-benua di sekitar benua kita tinggal, mulai dari yang terdekat yaitu Asia, lanjut ke Australia, Eropa, Afrika hingga Amerika.  Prinsip pelajarannya sama saja: deskripsi yang hidup, prinsip-prinsip geografis, mengaitkan geografi dan sejarah, dan memahami rincian cara penduduknya mencari nafkah – semuanya disajikan dengan  tujuan meninggalkan kesan yang menjamin anak bisa “memiliki” wilayah itu secara imajinatif, selain memberinya data yang cukup untuk membuat penilaian yang berimbang tentangnya. Lanjut di tingkat V dan VI , siswa mulai membaca koran untuk mencari berita terkini, mencari tahu yang terjadi di negara-negara yang mereka pelajari saat itu, termasuk meninjau kembali sejarahnya.
Sekarang permasalahannya, bagaimana bisa mendapatkan deskripsi yang hidup ? bolehkah belajar lewat foto atau video ?

Sebelum lanjut, cermati dulu sekitar 2-3 menit beberapa gambar gunung Annapurna di bawah ini, dan pikirkan apa yang Anda tangkap dari foto-foto tersebut ?

gambar dari  wikimedia.org
gambar dari wikipedia

gambar dari we12travel

Setelah puas mengamatinya mari lanjut ke cerita di bawah ini :



Annapurna pernah jadi nama yang paling ditakuti. Monster menjulang, legenda membahana, puncak tertinggi menantang keberanian para perambah dunia.
    Ketika Maurice Herzog memulai penaklukan Annapurna pada tahun 1950, ia bahkan tak tahu di mana letak sang Gunung. Annapurna tersembunyi di tengah rimba lebat, si penakluk berkali-kali tersesat. Dia  lalu berjalan setapak demi setapak menuju puncak, menyusuri tebing curam, melintasi jurang dan padang salju, mempertaruhkan nyawa meniti sungai es. Annapurna memang tak diam saja, gunung itu kejam, sama sekali bukan sahabat. Kemolekan panorama tudung putih di puncak sana ternyata adalah pembunuh yang membekukan semangat sekaligus menghentikan embusan napas.
    Ini adalah setapak langkah kecil seorang penakluk yang kemudian menjadi loncatan raksasa umat manusia dalam perjalanan peradaban. Ya, menusia memang adalah makhluk kecil yang ingin menaklukkan segala. Ini adalah kali pertama kaki manusia menginjak ketinggian di atas delapan ribu meter, hanya sembilan belas tahun sebelum Neil Armstrong menginjak bulan. Terkalahkan sudah Annapurna! Terbuktilah kemampuan manusia! Walaupun pulang dengan tangan kosong tak membawa apa-apa dari puncak sana, Herzog dan kawan-kawannya disambut laksana pahlawan azam. Annapurna memang mematikan, kenang para "penakluk" itu. Mereka harus merelakan semua jari kaki diamputasi, gara-gara badai salju dan sengatan temperatur yang jauh lebih dingin daripada Antartika. 
( dikutip dari "Titik Nol" Agustinus Wibowo hlm. 165-166 )

Bagaimana perasaan setelah membaca sepotong cerita tersebut ? apa Anda jadi punya kesan yang berbeda terhadap foto tadi  ? 

Seperti halnya diskusi Kamisan yang lalu, kami bersepakat bahwa lebih baik kita membaca kisah di balik suatu tempat atau kehidupannya terlebih dahulu, sebelum menikmati sesuatu secara visual,  karena imajinasi yang terbentuk melalui sebuah bacaan berkualitas jauh lebih kaya, dibanding keindahan visual yang hanya berupa keping-keping puzzle. 
Meski demikian, tetepppp.. yang terbaik adalah bisa menginjakkan kaki, melihat , merasakan  secara langsung alam dan masyarakat suatu tempat. Namun satu hal yang pasti, saya  tidak akan pernah menginjakkan kaki ke Annapurna. Percayalah ! :D

Indri - Kamisan 13 Agustus 2020
yang ingin segera merdeka dari pandemi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar