Selasa, 04 Agustus 2020

Banyak Jalan Menuju Geografi ( Narasi Geografi Bagian 1 )

Apa yang langsung terbayang saat mendengar kata geografi?
Saya yakin sebagian besar langsung teringat pada gambar peta, garis bujur dan garis lintang, mengingat masa-masa ulangan peta buta dan yang pasti mendarah daging kita harus menghafalkan RPUL untuk menjawab pertanyaan apa saja hasil-hasil tambang tiap daerah ?

Masih berkutat tentang pembahasan sains dari CM vol VI, dimana geografi juga termasuk di dalamnya. Sesuatu yang berbeda dengan apa yang selama ini menjadi paradigma siswa, bahwa geografi diyakini sebagai bagian dari ilmu sosial. Sebenarnya apa arti dari geografi itu sendiri ?

Awal mulanya, manusia masa lalu begitu terpesona dengan penampakan bumi yang luar biasa, gunung tinggi menjulang, aliran sungai yang berkelak-kelok bagai ular, lembah yang curam dan hamparan lautan luas. Rasa kekaguman dan ingin tahu itulah yang melahirkan ilmu geografi dimana secara etimologi, geografi berasal dari bahasa Yunani yaitu geo yang berarti bumi dan graphein yang berarti menulis. Jadi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang bumi ( beserta fenomenanya ). Geografi berkembang sedemikian rupa sehingga tidak bisa terlepas dari konteks sejarah, sosial masyarakat, dan ilmu alam sendiri. Banyak pertanyaan yang berputar di benak manusia, seperti bagaimana bentuk bumi, mengapa bisa terjadi gunung api, mengapa ada perbedaan waktu, mengapa ada perbedaan musim, dan perbedaan jenis flora dan fauna,  dan masih berjuta-juta pertanyaan lagi. Dari situlah manusia mulai  mengadakan pengamatan, pencatatan, dan penelitian, hingga proyek penjelajahan bumi, yang kemudian melahirkan kartografi.

Tak ada pengetahuan yang semenyenangkan berintim-intim dengan permukaan bumi, di setiap bagiannya, sehingga peta area mana pun akan menyingkapkan panorama kegembiraan; yang tampak tidak sekadar gunung, sungai, batas-batas negara, dan aneka fitur lain yang jadi ciri khas pelajaran geografi, tetapi pemahaman tentang cara hidup penghuninya di masa lalu dan masa kini dari setiap jengkal bumi yang indah ini.
~Vol VI hlm. 224~

Bertahun-tahun bahkan berabad-abad berlalu, geografi jadi melenceng dari visi semula. Ambisi geografi menjadi terbatas pada pertanyaan tentang bagaimana dan apa tantangannya membuat permukaan bumi bisa mendatangkan keuntungan bagi manusia dan nyaman untuk kita mukimi. Rasa kekaguman akan keindahan berubah menjadi rasa ingin menguasai dan mengeksploitasi bumi alih-alih demi kesejahteraan penghuninya.
Hasil perut bumi disedot habis-habisan, hutan-hutan digunduli diubah menjadi hunian ataupun taman hiburan dengan dalih wisata alam ( namun sebagian besar isinya adalah buatan manusia ). Lautan pun tak ketinggalan, keindahan dan kehidupan penghuninya diregut untuk dimaksimalkan 'kegunaannya'. Demikian pula pembahasan geografi di sekolah ikut bergeser menjadi materi bagaimana memaksimalkan daya alam guna memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi manusia. Secara tidak langsung membunuh rasa ingin tahu dan kekaguman siswa akan bumi itu sendiri , dan akhirnya saat sains tidak mengajar anak untuk takjub dan kagum, kemungkinan besar sains telah berhenti mendidik. Saat menuliskan narasi ini pun saya tersadar kenapa dulu tidak pernah bertanya kenapa tidak ada gurun pasir di Indonesia padahal panasnya minta ampun :D

Berbeda dengan pola pengajaran modern dan utilitarian, CM menekankan untuk anak bisa kembali mengagumi  panorama keberagaman yang menakjubkan tentang alamnya, manusianya, sejarahnya, cara hidupnya. Selapis demi selapis seperti halnya menguliti bawang merah, anak di tingkat awal ( tingkat II ) mulai belajar mengenali lingkungan terdekat tempat tinggalnya, belajar mengetahui arah, mempelajari provinsi-provinsi satu demi satu beserta perbedaan antar provinsi seperti lingkungan alam, sejarah, hingga sosiologis-antropologis. Dari belajar satu per satu, anak diharapkan akan bisa melihat persamaan dan perbedaanya.



Di tingkat selanjutnya ( tingkat III / kelas 7 ) geografi masih bersifat regional, belajar mengenali negara terdekat ( menurut CM negara Eropa, bagi kita bisa saja mempelajari ASEAN ), kondisi alam, keberagaman penduduk, budaya dan sejarahnya. Jadi intinya... lagi-lagi geografi tidak bisa lepas begitu saja namun masih saling bergandeng tangan dengan ilmu-ilmu lainnya.

Pembelajaran geografi ala CM tetap menggunakan living book sebagai asupan budi anak untuk mengimajinasikan keindahan dan kehidupan di berbagai daerah, seperti halnya saat membaca kisah Laura, kita akan terbayang bagaimana keadaan alam di masa itu, kita juga tahu cara mereka bertahan hidup dari musim ke musim , hingga kita bisa turut membayangkan kehidupan masyarakat pada masa tersebut. The Call of The Wild membawa kita merasakan dinginnya Alaska. Heidi menerbangkan kita menikmati keindahan Pegunungan Alpen. Beda halnya saat membaca The Old Man and The Sea, kita terbawa merasakan ganasnya Samudra Atlantik. Buku-buku karya Holling C. Holling sebagai rekomendasi Ambleside Online, sangat naratif dan indah menggambarkan kondisi permukaan bumi.



Saya pribadi justru mulai melek geografi setelah mulai melakukan perjalanan ( bukan "Perjalanan ke Barat" ya :))). Saya menikmati membaca buku-buku dan blog tentang travelling. Saya juga sangat menikmati foto-foto travel yang ada di media sosial, terutama yang berkaitan dengan foto landscape dan human interest, yang kemudian membangkitkan rasa ingin tahu dan membayangkan bagaimana keindahan aslinya. Apalagi kalau diberikan mengagumi secara langsung itu merupakan sebuah karunia tak ternilai.





Selagi Indonesia begitu cekatan menjadikan hutan-hutan sebagai wahana wisata buatan demi kepentingan ekonomi dan pariwisata, sebaliknya negara maju ( yang sudah lebih dulu berdosa terhadap tingginya emisi ) justru melakukan sebaliknya. Mereka melakukan penghijauan besar-besaran , termasuk mengekspos kountur alam dan floranya, walaupun ujung-ujungnya sama-sama untuk tujuan wisata dan kepentingan ekonomi juga, namun paling tidak masih bisa membuat kita mengagumi permukaan dan kekayaan bumi ini.

Utilitarian dan kapitalisme tidak mungkin hilang sepenuhnya, tapi masih ada harapan bahwa manusia pada suatu hari tersadar bahwa dia mengemban tugas mulia dari Tuhan untuk menjaga bumi dan seisinya. Dan lagi-lagi relasi antara Tuhan, manusia dan alam tidak terpisahkan.

Indri - Narasi Kamisan, 30 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar