Selasa, 11 Agustus 2020

Geografi ~ Bukan Sekadar Peta ( Narasi Geografi Bagian 2 )

“Di tepi pantai dekat Leyden ada kotapraja bernama Katwyck, tempat manusia “membantu” hilir Sungai Rhine mengosongkan diri ke laut lewat kanal buatan lebar yang dilengkapi dengan tidak kurang dari tiga belas pasang pintu air besar. Pintu-pintu air ini ditutup untuk membentengi kota dari air laut saat  pasang datang, dan dibuka untuk membiarkan air mengalir saat surut. Sekalipun hal ini karya manusia yang mengesankan, bagi Sungai Rhine yang tadinya penuh gelora, pintu-pintu air itu tetaplah terasa jalan keluar yang dina. Delta sungai ini bisa dibilang lebarnya sebanding dengan keseluruhan lebar Belanda."

(Ambleside Geography, Buku IV)


Sebuah potongan cerita yang mengalun dari Bhelinda FM pada kamisan kemarin, membuka pandangan kami, betapa menariknya sebuah bacaan geografi yang naratif dan sastrawi. Dalam teks untuk tingkat III ( kelas 7 ) itu ada upaya menyajikan romansa tentang ciri-ciri alam suatu negara, sejarahnya, industrinya, sedemikian rupa hingga tidak ada negara yang sekadar nama-nama di peta atau di bidang garis-garis kontur. Peta dan garis kontur semacam itu bukanlah esensi dari geografi, melainkan simpulan-simpulan yang lambat laun akan diperoleh oleh siapa pun ketika akal budinya sudah intim dengan suatu wilayah. Pelajaran geografi perlu tetap memelihara watak sastrawi, tinggal kemudian ditambahi studi terhadap peta-peta, dan harusnya sampai anak betul-betul paham peta. Prinsip narasi setelah sekali baca yang berlaku di mata pelajaran lain juga berlaku di pelajaran geografi. Anak-anak tidak akan dapat menarasikan yang belum mereka “lihat” di benak mereka, yakni yang kita sebut imajinasi, dan mereka tidak akan bisa membayangkannya kecuali buku mereka menceritakan dengan hidup dan menarik. ( CM vol. 6 hlm. 227 )

Menurut CM , metode panoramik bisa jauh menarik, lebih 'nyantel' dan berdampak bagi murid itu sendiri. Bagaimana caranya, yaitu dengan cara belajar sedikit demi sedikit, membabarkan lansekap, zona per zona, belajar mengenali per wilayah, apa keunikannya, bagaimana kondisi iklim area tersebut, apa mata pencaharian penduduknya, bagaimana cara hidup mereka, hingga mempelajari sejarah. Dari pembelajaran per wilayah, nantinya diharapkan anak bisa melihat benang merah antar kota, provinsi hingga antar negara. Sehingga pelajaran geografi bukanlah belajar terkotak-kotak, sekedar paham batas daerah , atau cuman mengetahui hasil alam provinsi tapi membentuk gambaran di imaji anak sehingga nantinya bisa terbentuk gambaran keseluruhan bumi. Susah ya ? Memang ! :D


Saat membaca tentang membangun citra panoramik dengan menghubungkan antara lansekap dan kehidupan masyarakat mengingatkan saya pada sebuah desa tradisional Shirakawago di Prefektur Gifu, Jepang. Sebuah desa yang unik ini dijadikan warisan budaya dan sejarah, sebuah desa yang selaras dengan alam dan kondisi geografisnya.


Shirakawago

Letaknya di lembah Sungai Shogawa dan dikelilingi pegununungan, menyebabkan salju di daerah ini, pada musim dingin akan turun dengan lebatnya, menimbulkan tumpukan salju tebal hingga 2-3 meter. Oleh karena itu arsitektur rumah Gassho Zukuri ( artinya 'tangan yang berdoa' ) ini dibuat dengan konstruksi rangka kayu, mempunyai sudut kemiringan atap hingga 60 derajat , dilapisi tumpukan jerami yang tebal, membuat rumah ini bisa bertahan di empat musim khususnya pada saat musim dingin, salju tidak tertumpuk melainkan langsung turun ke bawah. Tidak hanya itu saja, rumah Gassho dibuat berorientasi ke Utara - Selatan bertujuan memaksimalkan aliran udara yang mengalir melalui lubang-lubang ventilasinya , dan membuat sisi-sisi atap menghadap ke Timur dan Barat sehingga memaksimalkan kehadiran sinar matahari yang mempercepat lelehnya salju saat musim dingin. Lingkungan sekitarnya juga berupa area pertanian warga yang, jeraminya bisa dimanfaatkan untuk membuat rumah Gassho. Meskipun dari jerami, atap ini bisa bertahan selama 30 tahun melalui proses pengeringan dan pengasapan. Masyarakatnya pun bergotong royong tiap ada pergantian atap salah satu warga, sehingga bisa selesai hanya dalam waktu satu hari.


Sawah di sekitar rumah


Pemasangan atap Gassho

Kontruksi atap Gassho


Meskipun desa ini tidak murni sebagai desa tradisional, melainkan juga sebagai desa wisata, namun kita masih bisa merasakan sejarah dan cara hidup masyarakatnya dari penataan dan keharmonisannya dengan alam. Terbukti bahwa geografi tidak sekadar garis-garis peta namun harus bersinergi dengan banyak hal termasuk manusianya, alamnya dan Tuhan itu sendiri.


Pelihara ikan di selokan ?

Warna warni bunga musim semi

Indonesia pun punya desa tradisional serupa yang hidup harmonis bersama kondisi alam geografisnya seperti Kampung Wae Rebo di Flores, tapi karena belum pernah membaca sejarah desa adat ini ataupun menginjakkan kaki kesana jadi saya belum bisa bercerita. Tanda-tanda kalau mainnya kurang jauh. Seperti yang Kak Ell teguhkan pada zoom Kamisan, ada baiknya tidak berada di kamar terus menerus sambil baca buku saja, tapi keluarlah melihat dunia di luar tempat kita tinggal juga penting. Jadi...... kapan nekaters mau jalan-jalan lagi ? ^,^


Indri - Kamisan 6 Agustus 2020


Bersambung....


1 komentar:

  1. Aq br denger nama desa Wairebo ini.... Auto gugling 🤭 masih mending blm pernah ksana c, drpd blm pernah denger nama desanya.... 👉👈

    BalasHapus