Selasa, 01 September 2020

Integritas Matematika ( Narasi Matematika Bagian 1)

Mati-matian belajar matematika selalu menjadi tren saat bersekolah. Hampir sebagian anak sekolah khususnya Sekolah Dasar pasti di-les-kan matematika, ya apa ya ? Nilai pelajaran agama, sejarah, bahasa Indonesia jelek gak papa yang penting nilai matematika bagus, jangan sampai remidi. Pesan mama-mama, jangan sampai nilai matematika jelek, nanti gak bisa masuk IPA, nanti gak bisa jadi dokter, bla..bla..bla.. Matematika seperti halnya sains, dianggap sebagai sebuah bidang studi yang mulia, top of the top, apalagi didukung aneka lomba dan olimpiade yang membuat derajatnya makin tinggi dan makin dipandang. Berbagai ajang kursus yang berfokus pada matematika juga berkembang pesat ( tidak perlu saya sebut merk ya ...hehehe). Saya pribadi tidak pernah mengalami pengalaman buruk dengan matematika, karena matematika adalah salah satu pelajaran favorit saya di masa sekolah, kenapa ? karena gak perlu banyak menghafalkan, paling cuman menghafalkan sedikit rumus, sisanya logika.

Salah satu buku favorit saya saat SD adalah buku Teka Teki Matematika oleh Brian Bolt, entah berapa kali saya baca buku itu berulang kali, tapi sekarang entah dimana bukunya. Di dalamnya tidak melulu membahas tentang angka tapi banyak logika teka-teki dari kehidupan sehari-hari. Yah, sebenarnya matematika itu ada di hidup kita setiap hari tidak cuman berhubungan dengan angka tapi juga penalaran. 

Tidak seharusnya matematika hanya dipelajari dengan drill melalui hafalan perkalian-pembagian ataupun hafalan rumus-rumus yang sampai sekarang kita tidak tahu gunanya di hidup kita. Bukan hal yang membanggakan kalau seorang anak bisa menyelesaikan hitungan dengan cepat di luar namun tidak memahami bagaimana bisa mendapatkan hasil tersebut dan tidak tahu kegunaan rumus tertentu. Saat pembelajaran matematika hanya sebatas angka, berarti dia belum memenuhi tujuan mulianya.

Tidak pandai dan ahli dalam matematika tidak berarti menjadikan anak itu bodoh, begitu pula sebaliknya. 


Saya teringat pada salah satu  drakor berjudul "Reply 1988" ada satu tokoh bernama Choi Taek yang sangat pandai dan ahli dalam turnamen Go, dia dapat memperhitungkan semua langkah lawan, dan selalu menjadi juara di perlombaan Internasional. Namun sebaliknya, Choi Taek sangat bodoh dalam bidang yang lain, bahkan mengurus pakaiannya sendiri tidak bisa! 

Sama halnya dengan anekdot di bacaaan kamisan kami, yang berkisah Isaac Newton yang membuat dua lubang di pintu, satu kecil dan satu besar untuk dua ekor kucingnya yang kecil dan besar juga. Kita bisa menertawakannya, kenapa tidak satu lubang besar untuk dua kucing sekalian. Tapi ya begitulah, seperti yang dibilang Putri , bahwa semua orang akan bodoh pada waktunya. Bagi kita Newton adalah manusia hebat dengan penemuannya, namun ternyata secara nalar justru kita yang orang biasa bisa 'mengalahkan' Newton. Tuhan itu adil, tidak ada satu manusiapun yang bisa menguasai semua bidang pengetahuan dengan sempurna. Tiap orang diciptakan punya kelebihan dan juga kekurangan. 

Matematika mestinya dipelajari karena kesenangan di dalamnya, bukan untuk membuat anak tambah pintar atau jadi jenius.

Matematika juga bukanlah sebuah ilmu yang berdiri sendiri atau dikotakkan, namun juga besinergi dan bisa menopang ilmu yang lain. 


Ilmu perang dan kedokteran membutuhkan matematika dalam memperhitungkan strategi dan tindakan. 

Sejarahpun tidak lepas dari matematika dalam memperhitungkan suatu masa.

Logaritma yang kita tidak tahu manfaatnya di masa sekolah, ternyata sangat berguna untuk menopang ilmu sosial. 

Ilmu-ilmu teknik ( seperti sipil, pertanian, industri, dll ) jelas tak luput dari matematika, apa jadinya kalau salah perhitungan sudut kemiringan atap suatu bangunan? 

Kita akan mendapatkan landasan kuat itu jika kita mengingat keindahan dan kebenaran yang terkandung dalam Matematika. Seperti yang ditunjukkan John Ruskin, dua ditambah dua selalu sama dengan empat dan tidak mungkin menjadi lima, itu kebenaran mutlak. Sungguh menggetarkan rasanya bisa berhadapan dengan hukum, seperangkat sistem hukum yang utuh, yang eksis tanpa menunggu persetujuan kita –– bahwa dua garis lurus sejajar tidak akan pernah bisa bertemu adalah fakta yang bisa kita cerap, rumuskan, dan jadikan fondasi tindakan, tapi tak akan bisa kita ubah dengan cara apa pun.

~ CM Vol. 6 hlm. 230-231~ 

Demikian juga kak Tiur menekankan, apa kaitan matematika dengan pembangunan karakter anak? Jelas! karena belajar matematika berarti bicara soal kebenaran mutlak, sesuatu yang hasilnya sudah pasti. Hasil yang bisa dibuktikan dan dipertanggungjawabkan. Seperti halnya 2 + 2 = 4 adalah hal yang pasti dan dapat dibuktikan. Lewat matematika, anak belajar jujur terhadap hasil, belajar disiplin dan ketelitian. Apa yang terjadi kalau seorang dokter bedah salah menyayat walaupun hanya bergeser 2 mm? Seorang kontraktor sipil mengurangi ukuran tulangan besi 1mm?  Kalau saya tambahkan matematika itu bicara soal integritas. Seorang koruptor bukannya tidak bisa berhitung matematis, namun tidak menjunjung integritas dalam perhitungannya.

Sebagai penutup, pernyataan 2+2 = 4 justru mengingatkan saya pada sebuah film pendek "Two and Two" (2011) yang membuat kita merenung bisakah kita tetap mempunyai matematika yang berintegritas saat dalam posisi seperti ini?



Indri - Kamisan 27 Agustus 2020
2+2=4 :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar