Selasa, 28 Juli 2020

Saat Sains Bersanding dengan Humaniora ( Narasi Sains Bagian 3 )

Baca dan jawab pertanyaan berikut ini :

1. Jelaskan sebisamu tentang fenomena warna.
2. Apa karakteristik hewan yang tak bertulang belakang? Deskripsikanlah enam contohnya.

3. Jelaskan jenis tanaman apa yang tumbuh di sepanjang pantai.

4. Jelaskan bagaimana garis bujur ditentukan.

5. Berikan sketsa riwayat dan karakter Montezuma.

6. Tulis esai tentang planet Merkurius.


Pertanyaan di atas hanya sebagian contoh pertanyaan evaluasi untuk pelajaran sains di tingkat V dan VI ( usia SMP dan SMA ) . Waktu membacanya saya jadi zonk seketika, sudah menghabiskan waktu selama belasan tahun untuk belajar belajar, saya tidak bisa menjawab ataupun mengingat jawabannya. Semua yang pernah saya pelajari selama duduk di bangku sekolah sudah menguap seutuhnya, ya tentu saja karena selama duduk di bangku sekolah kita hanya perlu menelan sebanyak mungkin apa yang diberikan oleh guru kemudian menumpahkan saat ulangan tiba.


Berbeda dengan cara pembelajaran sains ala Charlotte Mason yang sudah saya tulis sebelumnya di sini dan di sana.


Lewat diskusi kamisan minggu ini, kami di komunitas CM saling menajamkan dan saling melengkapi bagaimana sebenarnya hakekat pembelajaran sains. Kami sepakat dengan beberapa  kata-kata kritis Sir Richard Gregory tentang sains, ketika berpidato sebagai Presiden Departemen Pendidikan Sains Asosiasi Inggris :


Misi esensial pendidikan sains di sekolah adalah untuk mempersiapkan siswa agar bisa hidup sebagai warga negara yang beradab. Pendidikan sains di sekolah tidak pernah dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa bagi profesi tertentu, tapi untuk membekali siswa agar bisa hidup secara bermakna.


Dalam hal ini perkataan Sir Richard Gregory meneguhkan konsep pendidikan CM yang tujuannya menghasilkan pribadi yang magnanimous. Namun melihat kondisi akhir-akhir ini, pendidikan sains tidak lagi menjadikan manusia sebagai makhluk yang beradab dan bermakna. Namun sains keluar dari jalurnya, didewakan, menjadi ajang para investor dan ilmuwan mengembangkan sains dengan alih-alih untuk kesejahteraan manusia, tapi hasilnya adalah memperkaya kaum tertentu. Sains menjadi sombong, terkotakkan secara eksklusif, memutuskan relasi dengan ilmu-ilmu yang lain. Sains tidak lagi menghargai kehidupan alam, namun mengeksploitasi habis-habisan, sains melupakan sejarah, bahkan sains melupakan manusia itu sendiri. Yang sejatinya ada sinergi antara manusia dan alam, namun sains justru merusaknya. Perkataan Sir Richard Gregory menegaskan bahwa sejatinya, sains adalah hidup kita sehari-hari, sebuah ilmu yang holistik yang berdampingan dengan ilmu-ilmu humaniora ( mencakup studi agama, filsafat, seni, sejarah dan bahasa ).

Saya baru saja menyelesaikan sebuah buku berjudul asli "La Peste" oleh Albert Camus, ditulis pada tahun 1947, diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia menjadi "Sampar". Tertarik membaca buku ini karena sejak pandemi, buku ini menjadi salah satu best seller di Korea dan memenuhi banyak rak toko buku. Tidak heran karena membacanya saat ini melihatnya tidak lagi sebagai sebuah novel, melainkan sebuah realita yang relevan dengan pandemi Covid-19.


Novel ini menceritakan sebuah kota, Oran di Aljazair yang digambarkan sebagai sebuah kota yang gersang, tanpa burung merpati, pepohonan ataupun taman. Sebuah kota yang benar-benar jauh dari kata indah , kota tanpa ekspresi. Penduduknya bersifat terus-terang, ramah dan gesit , namun mereka hanya sibuk dengan rutinitas, bekerja, memperkaya diri, mencari keuntungan dan berfoya-foya. Kota tanpa keindahan namun juga tanpa kekacauan.
HIngga suatu hari ditemukan beberapa ekor tikus mati di sebuah apartemen dan di jalanan Oran. Singkat cerita kematian tikus membawa goncangan bagi kota tersebut, secara mendadak sampar menjadi penguasa. Para korban meninggal dengan panas tinggi, tubuh membengkak dan noda kehitaman (lebih menjijikan daripada kematian akibat Covid). Oran dinyatakan epidemi dan ditutup dari dunia luar. Warga terpenjara seketika dan pendatang tidak diijinkan keluar untuk kembali ke kota asalnya. Dokter Bernard Rieux bertanggung jawab atas pasien-pasien sampar. Dia bekerja selama 20 jam sehari didampingi dengan tim yang dipimpin Tarrou ( seorang pendatang yang ikut terisolir di Oran ) untuk mengawasi dan menguji coba serum yang dibuat oleh Dr, Castel. Dokter Rieux yang awalnya menjadi dokter karena untuk sebuah profesi untuk mengangkat derajatnya yang terlahir sebagai anak kurang mampu, bersama dengan jurnalis, pastor, pengusaha, jaksa menjadikan epidemi sebagai sesuatu yang harus diperangi bersama. Sebuah bencana tidak manusiawi, membuat penduduknya diproses dalam keterasingan, kerinduan, ketakutan dan kesedihan yang tak berujung, namun akhirnya bersama mereka menjadi manusia yang manusiawi.

Membaca "Sampar" membuat saya berefleksi, di satu sisi pandemi merenggut jutaan nyawa manusia, menghajar habis-habisan kesombongan manusia (dan para sainstis yang merasa bisa lebih dari Tuhan). Tapi di sisi lain membuat manusia sadar akan posisinya di dunia ini. Sains juga berusaha kembali rujuk dengan ilmu-ilmu humaniora untuk bisa melawan pandemi dan menyelamatkan manusia. Sains tidak lagi sibuk menonjolkan diri di dalam kotaknya, namun sains hari demi hari menjadi lebih beradab dan manusiawi. Semoga.


Indri - Kamisan 23 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar