Selasa, 08 September 2020

Matematika = Uang ( Narasi Matematika Bagian 2 )

Setelah minggu sebelumnya kami mulai membahas Sang Superstar di masa sekolah yaitu Matematika. Perbincangan kembali menjadi sesi curhat mengenang masa-masa kecil saat belajar matematika dan bagaimana hidup ini tidak bisa terlepas dari matematika. Melengkapi narasi minggu lalu  yang sebenarnya saya sudah kebablasan baca dan narasikan sampai akhir. Saya pribadi menganggap uang dan matematika itu sama. Nasehat 'bijak' berkata "Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang" demikian juga matematika, "Matematika bukan segalanya, tapi semua hal butuh matematika"

Mulai bangun tidur buka mata kita lihat jam, panggil 'mbok belanja hitung-hitung belanjaan, beli daging ditimbang, saat mau masak butuh ukur takaran bahan. Saat mau berpergian  juga perlu ukur berapa jauh jaraknya, berapa jam yang dibutuhkan, berapa bujet akomodasi dan dana oleh-oleh. Saat di rumah saja, mau belol ( belanja online ) juga perlu hitung dulu prosentase diskon harganya, mau bercocok tanam harus perhatikan komposisi perbandingan media tanam. Belum lagi pertanyaan 'sensus' seperti :  umurnya berapa ? sudah berapa lama nikah ? sudah punya anak  berapa ? anaknya umur berapa? gajinya berapa?  daaann.......masih banyak lagi hidup sehari-hari kita yang  selalu menjadikan angka-angka sebagai patokan yang paling mudah.

Gambar dari findingdulcinea

Terlepas dari pandai tidaknya seorang anak akan matematika selalu ingat bahwa "Matematika mestinya dipelajari karena kesenangan di dalamnya, bukan untuk membuat anak tambah pintar atau jadi jenius".


Di sisi lain, para jenius juga punya hak berkembang. Seorang anak yang sangat berbakat matematika harus diizinkan untuk maju dengan kecepatan penuh, meskipun artinya pelajaran lain dikorbankan. Anak seperti ini akan segera menunjukkan motivasinya, mampu dengan cepat menemukan cara memecahkan soal matematika seolah itu gampang, dan dia sepatutnya dipuaskan. Anak seperti ini biasanya malah tidak suka terlalu dituntun. Namun, mengapa kita memaksa kura-kura bertanding dengan terwelu, dan mengapa berpikir anak hanya bisa sukses kalau dia terus-menerus di-drill pelajaran Matematika? Sepertinya begitulah kecenderungan sistem pendidikan masa kini yang menutup pintu masuk perguruan tinggi bagi anak-anak yang dianggap tidak pandai matematika, yang berarti menghambat perkembangan karir mereka, lalu akhirnya para siswa yang lemah matematikanya itu harus bekerja berat untuk menguasai matematika secara mekanis, sehingga mereka mau tak mau kehilangan waktu untuk mempelajari humaniora yang menjadi elemen kunci dalam konsep “pendidikan bagi semua”. ( Vol 6 hlm. 233 )

Singkatnya, matematika adalah bagian penting dari pendidikan setiap anak. Matematika harus diajarkan oleh mereka yang paham matematika, tapi janganlah pelajaran ini terlalu menyita waktu dan perhatian siswa sampai ia tak sempat belajar aneka pengetahuan lainnya, pengetahuan kaya yang menjadi hak asasinya. Setiap anak punya keunikan dan kelebihan di tiap-tiap bidang pengetahuan.

Bagi seorang murid, matematika adalah pembelajaran yang sangat bergantung kepada guru yang mengajarkan daripada sekedar buku teks. Guru ( matematika ) yang baik, harus bisa membangun imajinasi murid, karena landasan matematika adalah aritmetika : tambah, kurang, kali, bagi yang membutuhkan ketrampilan mental.

Saya sendiri pernah kesulitan waktu mengajarkan Karen konsep pembagian, karena berkonsep abstrak maka dibutuhkan visualisasi alat bantu. Saat itu saya memakai potongan pizza sebagai contoh, sampai benar-benar paham prinsip pembagian barulah bisa lanjut ke soal yang lebih tingkat kesulitannya. Pakai alat bantu yang ada di sekitar, misal belajar tentang berat, pakailah timbangan asli ; belajar tentang ukuran cairan pakailah gelas ukur ; belajar panjang pakailah penggaris / meteran; belajar jual beli pakai uang asli, dan seterusnya, karena matematika memang hidup sehari-hari. Lakukan setahap demi setahap sampai pondasi aritmetika mapan barulah alat bantu dihilangkan dan anak bisa didrill untuk perhitungan cepat. Jangan suruh anak menghafal perkalian, pembagian dan rumus-rumus tanpa tahu dasarnya.

Sekali lagi jadikan pembelajaran matematika suatu hal yang menyenangkan bukan sesuatu yang jadi paksaan, menyiksa dan rumit, apalagi menjadikannya sebagai ajang kompetisi. ^,^



Indri - Kamisan 3 September 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar