Kamis, 04 Februari 2021

Karena Pendidikan Adalah Iman

 Narasi  Kamisan 28 Januari dan 4 Februari 2021


Imanilah akal budi dan 
biarkan pendidikan menyambar langsung 
bagaikan petir ke akal budi siswa.
~CM Vol. 6 hlm. 260


Pendidikan sekarang seakan-akan mengerdilkan pemikiran anak, bagaimana tidak?  
Buku teks yang garing , dimana sebuah pengetahuan kemudian hanya diringkas menjadi remahan-remahan yang tak bergizi namun terus menerus dijejalkan ke benak anak, dengan alasan supaya mudah dipelajari dan dihafalkan, untuk nantinya sang guru juga mudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan komprehensif  sebagai standar penilaian untuk mengisi rapor. Ditambah lagi jika sang murid diajar oleh seorang guru yang tidak mempunyai passion di bidang tersebut dan hanya puas dengan mengulang-ngulangkan hafalan yang sama di tiap tahunnya, bahkan  materi presentasi/ ceramahnya pun tetap sama selama bertahun-tahun.  Tidak memberi akal budi anak untuk mengolah 'makanannya'. Lalu apa jadinya siswa yang mendapatkan sistem pengajaran seperti ini?

Imanilah akal budi dan biarkan pendidikan menyambar langsung bagaikan petir ke akal budi siswa. Konsekuensinya, buku-buku harus digunakan, karena siapa yang berani menyombong bahwa dia mampu mengajarkan semua mata pelajaran dengan kurikulum lengkap dengan pemikiran yang orisinil dan pengetahuan yang tepat seperti yang ditunjukkan oleh para penulis buku yang menulis tentang bidang yang mereka geluti seumur hidup?
Sistem pengajaran sekolah yang diseragamkan demi target-target akademis dan  administrasi, membuat guru dan murid sama-sama tidak bisa mendapatkan asupan yang bergizi (  buku-buku yang hidup).  Bahkan guru sendiri sudah tidak punya waktu untuk memperlengkapi diri dengan membaca buku yang berumutu. Waktu guru dihabiskan untuk membuat laporan-laporan administratif, mengejar target materi yang harus tercapai di buku paket ( yang WAJIB dipakai). Guru juga harus memastikan kesemua murid di kelasnya mendapatkan pemahaman yang sama, tapi bagaimana? karena tiap-tiap anak itu unik, tidak ada yang sama persis. 

Betapa mudahnya tugas guru jika tugas mengajar anak hanya 'cara membaca buku' dan kemudian menarasikan. Biarkan anak menjalin hubungan spesial dengan penulis yang mencintai bidangnya hingga anak berhasil menjadi pembelajar mandiri. Anak belajar mencerna bacaannya dan berulangkali mempertanyakan pada dirinya sendiri hingga pengetahuan itu benar-benar menjadi miliknya yang akan melekat terus, bukan seperti hafalan yang hanya bertahan dalam semalam.

Asalkan bukunya sastrawi dan tepat untuk usianya, anak-anak bisa mencerna sendiri tanpa penjelasan panjang lebar. Ini juga merupakan kunci untuk mengajarkan pada anak tentang humaniora ( ilmu budaya adalah ilmu yang mempelajari tentang cara membuat atau mengangkat manusia menjadi lebih manusiawi dan berbudaya. Dengan kata lain studi tentang kemanusiaan). Ilmu-ilmu yang tergolong dalam humaniora adalah : teologi, filsafat, hukum, sejarah, sastra, seni, linguistik/ilmu tentang bahasa, psikologi, antropologi, budaya, dan kajian budaya. Bandingkan bacaan sastrawi humaniora dengan pembelajaran humaniora di sekolah. Pelajaran humaniora apa yang kita ingat saat duduk di bangku sekolah? Saya pribadi hanya ingat ilmu sosial hanya sebagai hafalan tak penting semata. Salah kaprah memang, tapi ya memang demikian. 
 
Pelajaran humaniora di sekolah sedemikian dangkalnya sehingga saya bahkan tidak mengingat esensinya. Di era globalisasi, beberapa pelajaran humaniora seperti bahasa asing khususnya Inggris mendapatkan perlakuan VIP,  karena dianggap lebih prestige  dan global, apalagi jika orang tua sudah memutuskan anaknya akan melanjutkan sekolah di luar Indonesia, pelajaran bahasa ibu menjadi sesuatu yang tidak perlu dipelajari dan tidak urgensi. Sebaliknya negara ingin para siswa juga cinta negara, sedangkan bahasa sendiri tidak dilestarikan? 

Saya bersyukur sejak tumbuh dalam komunitas CM, banyak asupan buku sastrawi sebagai sarana anak menjadi pembelajar mandiri.  Dengan prinsip sekali baca dan kemudian menarasikan membuat anak terlatih untuk fokus dan mengimajinasikan di benaknya. Biarkan anak juga membuat pertanyaan-pertanyaan pada dirinya sendiri akan apa yang telah dia baca, karena dengan demikian dia akan menguji pemahaman akan bacaan tersebut. Dengan cara seperti ini kita tidak akan tahu seperti apa akal budinya berkembang, kita cukup mengimani bahwa saat akal budi bertemu dengan akal budi para pemikir dan penulis, lewat buku-buku, anak akan bisa menyelesaikan sejumlah besar materi menjadi milik mereka sendiri!

Artikel CM Indonesia tentang living books klik sini

Postingan di blog ini seputar living books klik sini


Indri - 4 Februari 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar