Rabu, 08 Juli 2020

Apresiasi Musik atau Belajar Musik ?

Menurut riset hanya 3% anak yang betul-betul "buta nada". Cukup tersontak saya saat membaca materi Kamisan 2 Juli 2020. Selama ini saya merasa bahwa orang yang bernyanyi fals itu adalah orang buta nada. Ternyata anggapan tersebut salah ! Anak yang buta nada bila ditengok ke belakang, biasanya, kurang terpapar musik sejak dini. 

Saya termasuk salah seorang yang beruntung, salah satu anak yang terpapar musik sejak dini. Mama dan papa saya berpacaran selama 10 tahun , di masa pacaran mereka suka saling pinjam piringan hitam ( saya tahu tentu saja dari cerita mereka ). Setelah mempunyai anak, alunan musik selalu memenuhi ruangan, papa terutama,  suka sekali memutar lagu-lagu barat oldies, mandarin, hingga instrumen mulai piano, erhu hingga hymn. Dan salah satu acara favorit di jaman itu tentu saja "Berpacu Dalam Melodi ~~~"  ( dikatakan dengan nada dan gaya khas Koes Hendratmo ). Kagum dengan para kontestan yang dapat menebak sebuah judul lagu hanya dengan bantuan satu not ataupun kisah di balik lagunya. Selain itu  saya pun tak luput dari kelas musik, meskipun kedua orang tua saya sama sekali tidak bisa memainkan satu pun instrumen dan pada saat itu tidak banyak pilihan instrumen untuk kursus jadi pilihan jatuh pada electone. 

Saya bertumbuh bersama musik, walaupun tidak berbakat, belajar dengan terengah-engah dan butuh waktu yang lama untuk benar-benar dapat menikmati seni bermain musik itu sendiri. Seiring waktu , selera musik saya juga selalu berubah-ubah tapi paling tidak saya merasa diperkaya oleh aneka jenis musik dan hampir bisa menikmati semua genre.
 

Tumbuh dari kecil bersama lagu-lagu popular seperti Obladi Oblada, Smoke Get in Your Eyes, hingga Jambalaya dan Yesterday Once More-nya Carpenters.  Sempat waktu  ABG tergila-gila dengan lagu mandarin angkatan Four Heavenly Kings ( Andy Lau, Jacky Cheung, Arron Kwok, Leon Lai ), tiap dua minggu pasti saya akan diantar papa menyambangi toko kaset di pecinan untuk membeli lagu mandarin terbaru. Lagu-lagu soundtrack drama Hongkong dan Taiwan tidak terlewatkan, mulai era Return of the Condor Heroes, To Liong To, Huan Zhu Ge Ge hingga White Snake Legend ikut dikoleksi.  Berdampingan dengan kaset Yanni, Kitaro, Richard Clayderman, hingga Dave Koz memenuhi rak kaset sebelum akhirnya tidak dapat diputar lagi karena tergerus jaman. Tidak ketinggalan lagu-lagu anime Studio Ghibli,  Cardcaptor Sakura, Sailor Moon sampai Yu Yu Hakusho juga masuk dalam download playlist saya lewat Napster yang kala itu format mp3 sudah dikenal. Lagu Indonesia ? tentu saja tidak terluputkan, saya penikmat lagu-lagu Kahitna, KLA Project, AB three, Chrisye, hingga konser 2 warna. Dan walaupun tidak pernah belajar musik klasik, mendengarkan  Air on G String - Bach, Blue Danube hingga Turkish March mendatangkan kesenangan tersendiri. Pernah berandai-andai  bisa bermain dalam suatu kelompok orkestra ( walaupun akhirnya belum tercapai hingga saat ini  hahaha.... ). Bahkan saya berdoa supaya diberi suami yang bisa bermain alat musik, minimal bisa gitaran. ( walaupun ternyata tidak dikabulkan Tuhan :D ). 

Menonton sebuah pertunjukan musik memang memberikan kepuasan tersendiri dengan tata panggung, busana, kekompakan antar pemain dan terbuai oleh ketrampilan musisi itu sendiri. Saya kagum live concert para Diva, tarian para penyanyi mandopop Taiwan, hingga kemampuan musisi jazz berimprovisasi, begitu kompak mereka bisa bersahut-sahutan tanpa adanya partitur, namun tetap mempertahankan harmonisasi. Boleh dikata saya beruntung bisa berkenalan dan belajar singkat dengan salah satu maestro jazz Indonesia, Bubi Chen. 


Pada masa itu, saya masih di bangku kuliah dan melihat salah satu kolom iklan kecik : Belajar piano bersama Bubi Chen, rasa ingin tahu membawa saya menelpon kontak yang tertera, antara percaya dan tidak. Ternyata the real Bubi Chen memang memberikan kursus piano tiap bulan sekali di Semarang ( saat itu beliau tinggal di Surabaya ). Modal nekad dan seijin orangtua saya ambil kelas beliau , tanpa memiliki dasar bermain piano dan tanpa memiliki piano ( bahkan memegang piano saja belum pernah ). Singkatnya, hari kursus tiba, om Bubi tidak mempermasalahkan ketidakpunyaan saya. Dia mengajar sesuai kemampuan murid, dengan partitur untuk tiap murid diaransemen khusus sesuai kemampuan murid. Umur sudah 70 tahun lebih, rambut sudah menipis, badannya gagah walaupun sudah renta ,  kelincahan jari-jarinya menari-nari di atas barisan tuts begitu memukau. Lagu sederhana mengalir dengan begitu indah, om Bubi  memainkannya dengan sepenuh hati seakan-akan jiwanya menyatu dengan pianonya, saya hanya bisa berdecak kagum dan terbuai sepanjang lagu dimainkan, serasa menonton sebuah pertunjukan live solo piano. Walau tidak sempat belajar dalam kurun yang lama, pelajaran beliau masih membekas walaupun sudah lewat 20 tahun. Seperti kata CM memang seharusnya belajar dengan guru yang terbaik dan mencintai bidangnya lebih berdampak daripada dengan guru yang sekedar mengajar. 

Partitur yang diaransemen khusus untuk tiap murid

Suka atau tidak suka, musik selalu ada di sekitar kita, apa jadinya sebuah film tanpa adanya musik ? bahkan film horror pun membutuhkan musik untuk mendramatisir suasana mencekam. Film dengan musik berkualitas bisa menjadi sebuah media untuk mengenalkan anak pada musik. Saya ingat,  sewaktu kecil, tidak banyak pilihan film anak-anak, film Disney salah satu, yang saya suka , dengan musik-musik orkestra yang mengiringi plot  ( walaupun sekarang saya tersadar bahwa cerita-cerita Disney sebenarnya tidak berbobot namun dibalut dengan riasan yang memukau ) . Mayoritas musik Walt Disney movie adalah gubahan Alan Menken, seorang pianis dan komposer Amerika. Beberapa saat kemudian, sekitar jaman kuliah,  saya baru mulai mengenal animasi Studio Ghibli,  seperti yang Kak Mulan pernah ceritakan di narasi sebelumnya, dimana dia menunjukkan  kekagumannya akan penggambaran detil-detil pada animasi produksi Ghibli, demikian juga saya tidak hanya mengagumi Ghibli dari kualitas animasi 2D nya namun juga aransemen musik orkestra yang megah dan melegenda hingga sekarang. Sama seperti Walt Disney dengan Alan Menken, Ghibli juga mempercayakan pengerjaan musiknya pada seorang komposer Jepang, Joe Hisaishi. Lagu-lagu Ghibli termasuk lagu yang bisa dinikmati sepanjang jaman. Dan saya baru tahu saat menulis narasi ini bahwa ternyata Alan Menken dan Joe Hisaishi sebaya ( saat ini mereka berusia 70 tahun- an ), yang membuktikan bahwa semasa kecil mereka pasti dipaparkan pada musik-musik klasik dan mempelajari musik klasik itu sendiri.

Video live orchestra Joe Hisaishi 
( untuk menampilkan video :  klik di bagian bawah  --> "lihat versi web" <-- ) 

Meskipun  menyukai film Korea, namun sebaliknya saya belum pernah sampai jatuh cinta pada K-Pop. Pertama musiknya susah dinyanyikan ataupun dicover menjadi instrumental, yang kedua saya tidak suka penampilan para idol yang terkesan 'cantik'. Namun bukan berarti tidak bisa menikmati juga, saya menikmatinya dengan cara berbeda. Saya pribadi bukan Army, tapi membaca cara BTS dalam menciptakan lagu termasuk unik, mereka tidak sekedar menciptakan namun juga berfilosofi lewat lirik mereka. Sebagai contoh, salah satu lagu rap BTS "Persona" diciptakan oleh RM, liriknya penuh semangat, kalimatnya menggetarkan dan menunjukkan sisi mereka yang sebenarnya. Terinspirasi dari teori "Map of The Soul" Carl Jung dimana hati manusia adalah dunia yang sangat kompleks dan mendalam, Persona ( = topeng ) yang secara sadar kita pakai dan tunjukkan pada dunia luar, hingga orang melihat kita sebagai Persona dan akhirnya kita berbalik bertanya "siapakah aku" sebenarnya. Sekali lagi sampai saat ini pun saya belum bisa enjoy mendengarkan lagunya tapi saya tersentuh dengan liriknya. 


Video Persona dengan terjemahan lirik

Tidak hanya terinspirasi oleh Carl Jung, lagu-lagu BTS juga diwarnai oleh karya sastra lain seperti Demian - Hermann Hesse dan beberapa karya Haruki Murakami. Mungkinkah itu yang menjadikan mereka sebagai grup popular saat ini di tengah banyaknya  musisi yang membuat lirik tanpa makna ? Memang akhirnya tidak ada jenis musik yang bisa memuaskan dan disukai semua pihak, tapi saat kita belajar untuk melihat dan mengapresiasi dari sudut yang berbeda bisa jadi kita menemukan cara untuk menikmatinya.

Menikmati karya lukis berbeda dari bisa melukis dengan bagus.
Menikmati sebuah drama Shakespeare berbeda dengan bisa berakting di teater.
Mengapresiasi musik tidak ada hubungan dengan mahir memainkan piano.
Saat anak dipaparkan pada seni sejak dini kita akan terkejut dengan kemampuannya menghargai seni itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar