Selasa, 14 Juli 2020

Mendampingi Anak Belajar Sains ( Narasi Sains Bagian 1 )


Sains, saat ini dianggap sebagai salah satu bidang studi paling penting di sekolah, dianggap sebagai pelajaran yang bergengsi dibanding pelajaran seperti agama, IPS, apalagi bahasa daerah.  Tidak sedikit sekolah yang memprioritaskan sains sebagai program unggulan mereka , khususnya sebagai ajang kompetisi dan ajang promosi mencari siswa baru. Lihat saja banyaknya perlombaan sains ( dan matematika ) yang digelar baik skala nasional maupun internasional. Semakin banyak murid yang memenangkan kompetisi sains di sekolah tersebut, nama sekolah akan semakin harum dan tentu saja menarik calon-calon siswa baru yang ingin juga menjadi juara. Lalu ujung-ujungnya timbul pertanyaan, apa sebenarnya tujuan menjadi juara lomba sains? supaya fotonya terpampang di gerbang sekolah? untuk membuktikan kepandaiannya menghafal? atau sebagai bukti bisa mengalahkan orang lain? 

Di era kapitalisme, sains dianggap sebagai bekal penting untuk bisa menghasilkan banyak uang. Bahkan ada orang tua yang berprinsip yang penting nilai sains / IPA bagus supaya  anaknya bisa masuk jurusan IPA saat SMA, dan nantinya bisa kuliah di jurusan kedokteran ataupun jurusan teknik lainnya. Demi tercapainya tujuan sekolah dan cita-cita orang tua, anak didrill dengan berbagai hafalan, rumus dan soal-soal latihan. Tak apa besok lupa yang penting anak ingat pada saat ulangan ataupun lomba. Akhirnya, seperti halnya angin, pelajaran sains hanya berlalu begitu saja, tidak ada kegairahan belajar, tidak ada relasi intim antar anak dengan sains, bahkan mematikan rasa ingin tahu seorang anak akan sains itu sendiri. 

Prinsip seperti itu berbanding terbalik dengan pendapat Charlotte Mason yang mengutip Sir Richard Gregory, salah satu tokoh pendidikan. 

Charlotte Mason menulis  : 
"Misi mendasar dari pendidikan sains adalah menyiapkan para siswa untuk hidup dalam masyarakat yang berbudaya. Caranya adalah dengan menyingkapkan bagi mereka keindahan dan kekuatan dari alam yang mereka tinggali dan memperkenalkan pada mereka metode-metode untuk menambah pengetahuan kita tentang semesta. 
Pendidikan sains di sekolah BUKAN dimaksudkan untuk menyiapkan anak bagi pekerjaan-pekerjaan tertentu, melainkan agar anak memperoleh bekal untuk hidup yang berbudaya"  
( CM vol 6, hlm 222 ; CYB , hlm 143 ) 
 
Masih teringat bagaimana saya diharuskan menghafalkan tabel  ciri-ciri hewan mulai serangga sampai mamalia saat pelajaran biologi di SMA.  Ulangannya pun ditugaskan menyalin tabel tersebut persis sama tanpa melihat buku catatan. Pelajaran biologi menjadi pelajaran yang sangat membosankan dan sama sekali tidak memantik saya untuk mendalaminya lebih lagi. Keharusan menyebutkan bagian-bagian hewan dan tumbuhan termasuk juga menghafal nama-nama latin apa gunanya, kecuali  mau memberi nama anaknya dengan Oryza sativa? :D 

Sains seharusnya membangkitkan rasa ingin tahu anak akan sekelilingnya. Sains juga membawa kekaguman pada anak akan Sang Pencipta dan ciptaanNya. Saat mulai mendampingi anak belajar sains, justru saya yang ikut terpantik. Saya menjadi lebih mengagumi ciptaan Tuhan saat ikut serta dalam nature walk. Membaca living book soal sains membuka banyak wawasan dan pengetahuan baru yang tidak pernah saya ketahui di bangku sekolah. 

Huxley menulis bahwa buku pelajaran sains harus bersifat naratif dan sastrawi, sama halnya dengan buku sejarah. Hal ini berbeda dengan buku teks yang dipakai di sekolah maupun beredar di pasaran. Penerbit buku sains memang sangat banyak, namun sebagian besar hanya merupakan fakta-fakta garing belaka yang menampilkan ilustrasi warna-warni dan menarik. Memang bukan hal mudah menyajikan fakta ilmiah dalam bahasa sastrawi, terlebih sains harus dapat dibuktikan, bukan punya banyak tafsir. 
Salah satu buku Amerika yang berjudul "The Sciences" ditulis oleh Edward Holden punya gaya literasi yang baik. Bisa dilihat disini 

Saya juga suka dengan cara Clara Dillingham menarasikan kehidupan para binatang, misalnya saat seekor laba-laba membuat sarang, 
"....Lazy people are never happy. You try to finish the web, and see if I am not right. You are not a baby now, and you must work and get your own food."
So the little Spider spun the circles of rope in the web, and made these ropes sticky, as all careful spiders do. She ate the loose ends and pieces that were left over, to save them for another time, and when it was done, it was so fine and perfect that her brothers and sisters crowded around, saying, "Oh! oh! oh! how beautiful!" and asked the mother to teach them. The little web-spinner was happier than she had ever been before, and the mother began to teach her other children. But it takes a long time to teach a hundred and seventy children."
( dikutip dari The Little Spider's First Web -  Among the Meadow People , hlm 28 )

Membaca living book di atas tidak sekedar membaca pengetahuan tentang laba-laba yang membuat sarang, tapi juga menyiratkan pesan moral lewat si anak laba-laba dan kesabaran seekor induk laba-laba yang harus mendidik anak ratusan ekor.  Membuktikan bahwa bacaan sains tidak melulu berisi fakta garing namun juga membuat pembaca bisa berefleksi dan berelasi.

Buku sains yang naratif mudah ditemui di Amerika ataupun Eropa, namun masih langka didapatkan di Indonesia, bahkan versi terjemahannya juga masih langka. Slamet Soeseno adalah salah satu penulis ilmiah  Indonesia yang naratif, yang banyak menerbitkan tulisan tentang kehidupan binatang. Berikut  saya coba bandingkan antara buku teks SD kelas 5 BSE dengan salah satu tulisan Slamet.saat sama-sama membahas mulut nyamuk.

Buku Teks 
Serangga mempunyai bentuk mulut yang berbeda-beda sesuai dengan jenis makanannya.
Mulut Penusuk sekaligus pengisap
Memliki ciri bentuk yang tajam dan panjang.
Contoh : nyamuk

Slamet Soeseno
Jarum yang digunakan oleh para dokter untuk menginjeksikan antibiotika, sebetulnya sudah digunakan oleh nyamuk-nyamuk. Nyamuk-nyamuk yang lembut mampu menusukkan jarumnya melalui kulit tebal seperti kulit kita. Suatu kemustahilan seperti tugas seorang yang harus menghisap air dari pipa ledeng yang terdapat dalam dapur dari rumah sebelah menembus pagar tembok.  Margasatwa Kekajaan Kita hlm 35 )

Dari kedua bacaan di atas terasa bedanya mana yang hanya sekedar fakta, mana yang fakta tapi disajikan naratif. Kesan pertama rasanya memang yang bagian bawah lebih bertele-tele, namun kalau boleh dibuktikan, saat membacanya lebih terukir dan terimajinasi di benak anak daripada membaca yang pertama.

Seperti halnya pelajaran seni yang juga mengasah kejelian anak akan suatu detil karya seni, demikian pula halnya sains selalu berkaitan dan menjawab apa yang ada di sekitar dan semuanya dimulai dari pertanyaan. Saat pergi ke alam bebaskan anak membuat jurnal mengenai sesuatu yang menarik yang ditemukannya, bagaimana ciri suatu obyek, biarkan dia membuat catatan dan pertanyaan dari apa yang dia amati saat itu untuk kemudian bisa menemukan jawabannya. Bukankah Isaac Newton menemukan gravitasi saat mempertanyakan bagaimana sebuah apel bisa jatuh dari pohon?

Semakin banyak anak bertanya, semakin dia berusaha mencari jawabannya, semakin dia bisa merelasikan satu hal dengan yang lain, dan semakin dia peka akan hal yang ada di sekitarnya. Kembali ke tujuan sains semula yaitu anak memiliki hidup yang berbudaya dan menyadari luasnya alam semesta ini untuk kemudian menyadari kehadiran Sang Pencipta.


Bersambung......

Indri - Kamisan 9 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar