Selasa, 21 Juli 2020

Sains di Tingkat Lanjut ( Narasi Sains Bagian 2 )


When the scarlet cardinal tells 
Her dream to the dragonfly, 
And the lazy breeze makes a nest in the trees,
      And murmurs a lullaby,
            It's July.

When the tangled cobweb pulls
      The cornflower's cap awry,
And the lilies tall lean over the wall
      To bow to the butterfly,
            It's July.

When the heat like a mist veil floats,
      And poppies flame in the rye,
And the silver note in the streamlet's throat
      Has softened almost to a sigh,
            It's July.

When the hours are so still that time
      Forgets them, and lets them lie
Underneath petals pink till the night stars wink
      At the sunset in the sky,
            It's July.
July 
by Susan Hartley Swett 
( published in the 1880's ) 
 
Puisi di atas menggambarkan perubahan dan kehidupan alam sekitar di bulan Juli. Menyambung tulisan sebelumnya bahwa pengamatan anak terhadap alam membuatnya peka akan perubahan di tiap musim dan menyadari adanya campur tangan Pencipta.

Bagi kita yang tinggal di negara tropis tidak mendapati perubahan yang signifikan seperti halnya negara empat musim ( bahkan seharusnya lima musim kalau ditambah hujan juga hehe.. ). Mereka bisa merasakan kegerahan musim panas melebihi musim kemaraunya kita, masuk angin karena terjangan angin musim gugur, menggigil di bawah selimut saat musim dingin tiba, dan berfoto di antara hamparan bunga warna-warni yang hanya tumbuh saat musim semi. Sampai-sampai negara 4 musim selalu menyediakan ramalan kapan bunga sakura akan  mulai mekar hingga mekar seutuhnya,  tanggal berapa daun maple akan berubah merah dan daun ginkgo menjadi kuning. Bukankah membutuhkan sains juga untuk memprediksikan hal tersebut?


Bagi anak-anak yang hidup di empat musim mereka bisa mengamati perubahan musim dari waktu ke waktu , misalnya :
- Perubahan warna-warna daun di musim gugur 
- Binatang yang berhibernasi saat musim dingin
- Bunga-bunga berbeda yang tumbuh di musim semi dan musim panas 
- dsb

Rasanya menyenangkan bisa melihat alam yang dinamis dari bulan ke bulan tidak seperti kita yang cukup puas melihat pohon menghijau dan mengering.  Tapi di satu sisi  mereka butuh lebih banyak persiapan juga dalam keseharian seperti jenis makanan yang berbeda, pakaian dengan bahan dan model berbeda tiap berganti musim, dan juga peralatan yang lebih banyak karena tidak mungkin membutuhkan pendingin ruangan saat salju datang dan tidak membutuhkan penghangat lantai saat suhu di luar mencapai 40 C. Jadi beryukurlah kalau kita hidup di dua musim saja yang praktis, cukup memakai daster saat di rumah dan kaos oblong saat beraktivitas di luaran ^.^

Meskipun tidak seberagam negara empat musim, pengamatan alam di negara dua musim juga tidak kalah menarik asalkan mau buka mata lebar-lebar. Seperti halnya kami saat sering bolak-balik Kudus - Semarang. Beberapa hal menyita keingintahuan juga menjadi jawaban adanya pergantian musim. Bermunculannya pedagang buah berair ( blewah, timun suri, semangka dan melon ) di sebagian jalan di Demak, kalau mereka sudah mulai berjejer-jejer itu merupakan tanda awal datangnya musim kemarau. Sebaliknya saat mulai banyak buah durian merupakan tanda datangnya musim hujan. Walaupun saat ini dengan adanya teknologi, buah-buah musiman bisa tersedia sepanjang tahun. 

Salah satu pedagang buah musiman

Selain buah, yang menjadi pengamatan kami sebagai tanda musim kemarau adalah pepohonan di pinggir jalan yang mulai meranggas bahkan terkesan mati yang nampak hanya ranting tak berdaun dan beberapa sarang burung yang ditinggalkan oleh pemiliknya. 

Pohon meranggas sepanjang jalan

Anak-anak di tingkat II ( sekitar kelas 4 - 6 SD ) diharapkan melakukan banyak tugas belajar di luar ruangan , mereka mencermati , menyimpan catatan dan gambar dalam jurnal alam, serta membuat riset masing-masing tentang kehidupan alam di musim tertentu. Salah satu buku yang direkomendasikan adalah "The Changing Year" oleh Florence M. Haines, tapi kendalanya seperti buku lainnya, mereka membahas kehidupan empat musim yang susah diterapkan di negara Indonesia. Salah satu buku yang selama ini kami pakai adalah "Handbook of Nature Study", walaupun beberapa spesies juga  tidak kami temui di Indonesia, namun pertanyaan-pertanyaan observasinya sangat membantu untuk pengamatan detail.

buku Handbook of Nature Study

Berpedoman pada buku tersebut kami juga sudah mengadakan beberapa pengamatan, seperti  pengamatan metamorfosis kupu-kupu dan nyamuk, dimana keduanya kami amati saat musim penghujan ( bulan Januari ).

Pengamatan fase metamorfosis Tawny Coster yang hidup di semak markisa


Gambar sebelah kiri diambil dari buku Handbook of Nature Study
yang menjelaskan cara mengamati pertumbuhan nyamuk.
Sedangkan gambar sampingnya adalah pengamatan kami selama beberapa hari,
mulai nyamuk berupa jentik-jentik hingga nyamuk dewasa

Pengamatan di bulan Juli : 
Menemukan dan menjurnal kantung telor praying mantis ( gb 1 dan 2 )
Biji pohon Tabebuya yang kami 'panen' di jalan ( gb. 3 )
 

Pembelajaran alam semacam ini tentu saja jauh memerlukan waktu lebih panjang dan usaha yang lebih , namun jauh lebih mengena daripada sekedar menghafalan buku teks. Untuk tingkatan awal ( tingkat I dan II )  anak tidak perlu menghafal nama-nama bagian dan istilah dari obyek yang diamati. Mereka cukup mengamati dan menjurnalkan semampu mereka guna menjalin relasi. Setelah masuk tingkat III ( sekitar kelas 7 / SMP ), barulah  anak mulai mencari tahu hal yang diteliti seperti saat mengamati bunga, dia bisa menyebutkan bagian bunga seperti calyx, corolla, stamen dan pistil, lalu bisa menjelaskan bagaimana fertilisasi bunga bisa terjadi ? 

Selama ini sains memang seringnya dikaitkan dengan alam saja, namun tidak demikian halnya menurut Charlotte Mason. Sains mencakup bidang lainnya termasuk geografi, sejarah alam, fisiologi, astronomi hingga arsitektur ( ya.... arsitektur, terdengar aneh kan ? ). Anak-anak di tingkat III, bahkan dituntut bisa membedakan gaya gothic pada arsitektur. 
Dari  pembelajaran soal arsitektur gothic ini terlihat bahwa anak perlu memahami sejarah, sastra, matematika, fisika bahkan seni di balik sebuah gaya arsitektur. Membuktikan  bahwasanya sains ( sebenarnya ) tidak dapat dicerai beraikan menjadi beberapa mata pelajaran seperti halnya pembelajaran modern saat ini yang kemudian menjadikan sains sebagai pelajaran utilarian.
Beberapa potongan atap Gothic

Semoga ke depannya sains tidak lagi tercerai berai, pelajaran sains di kelas tidak banyak dihabiskan lewat ceramah dan buku teks yang garing. Anak bisa bereksperimen melakukan observasi pribadi, dan akhirnya sains menjadi sebuah jalan bagi dia untuk berelasi dengan Tuhan dan sesama.


Bersambung.....


Indri - Kamisan 16 Juli 2020



Tidak ada komentar:

Posting Komentar