Rabu, 01 Juli 2020

Terpapar Karya Seni ( Narasi Seni Bagian 2 )

Pada suatu hari , dimana hari untuk berdiam di rumah belum tiba, saat dimana tante Corona belum menunjukkan kebengisannya. Saya asyik menyetir di tengah teriknya matahari , ditemani Karen yang duduk di samping. Melewati kawasan pekojan yang rame dan ruwet, mobil  maju-mudur mengatur posisi, petugas parkir riuh menyemprit peluit dan melambai-lambaikan tangan. Para tukang panggul disibukkan kegiatan bongkar muat. Tiba-tiba Karen berteriak “Mah... ada Monalisa!” sambil  clingak-clinguk mencari saya bertanya "Mana..mana?"  “Itu disana!” dengan tangan menunjuk ke atas tertuju pada sebuah baliho iklan toko bahan bangunan. Yah, dan benar terpampang nona Monalisa dengan senyum khasnya. Saya sudah lupa kapan kami pernah membahas lukisan karya Leonardo DiCaprio  Leonardo da Vinci tersebut, tapi saya bahagia juga saat Karen berhasil mengingat judul lukisan dan peka akan kehadiran sebuah karya seni di depan mata. 

difoto dari Pustaka Dasar "Leonardo da Vinci"

Cerita di atas tiba-tiba mendarat di ingatan, saat saya diharuskan tugas membuat narasi Kamisan ( dan beginilah rasanya kembali menjadi anak sekolah yang harus membuat PR setiap minggu :D ). Kamisan kali ini , kami melanjutkan berdiskusi di dunia maya tentang seni ( sesi sebelumnya disini ). Betapa bahagianya anak-anak yang mendapatkan pembelajaran seni di sekolah CM. Bagaimana tidak ? setiap cawu mereka membahas enam lukisan repro dari seorang seniman. Tidak sekedar melihat sambil lalu atau sebagai pajangan belaka, namun mereka diminta  memperhatikan detail secara seksama dan memvisualkan dalam benak mereka. Setelah itu lukisan ditutup  / dibalik dan setiap anak menarasikan bergantian. Tentu saja narasinya tidak seragam dan bukan hafalan teori semata, tiap anak menceritakan hal-hal yang paling berkesan baginya, mungkin gambar pohonnya, mungkin lautnya, mungkin warna langitnya, mungkin juga binatang ataupun kegiatan orang dalam lukisan. Setiap orang tidak mungkin mendapatkan impresi yang sama persis ketika dihadapkan pada sebuah karya seni. Yang terpenting, selama satu cawu itu waktu yang berharga bagi anak membangun relasi dengan seniman dan karya seninya.Paparkan anak kepada banyak seniman dan belajar untuk mengapresiasi karya seni bermutu. 

Ironis memang, saat anak demikian haus dan butuh asupan seni-seni berkualitas, sebaliknya orangtua, sekolah ataupun negara tidak pernah menyediakan fasilitas yang memadai. Susah menemukan galeri lukisan yang mumpuni di Kota Semarang ( apalagi Kudus ). Berbeda drastis dengan kehidupan anak-anak di London yang bebas berekreasi bersama orangtua ke Galeri Nasional untuk dipertemukan dengan maestro-maestro seni, mendatangkan kegembiraan bagi pengunjungnya.  

Ingatlah, kapan terakhir kita terpapar oleh seni ? satu minggu ini ? satu tahun ini ? atau mungkin justru saat bermain game desain interior atau nonton film ? Secara tidak langsung, seni itu sendiri sebenarnya hadir di sekitar kita tapi kita yang tidak mengenali dia dan tidak sadar kehadirannya. Berikut dua film yang tidak baru tapi masih saya ingat garis besarnya. Pertama, “Bean : The Movie” ( 1997 ), menggunakan lukisan “Whistle’s Mother” karya James McNeill Whistler yang menggambarkan seorang ibu berpakaian hitam panjang, memakai kerudung putih, sedang duduk di kursi menghadap ke samping , sebagai korban kekonyolan Mr. Bean hingga penonton dibuat tertawa terbahak-bahak. Sedang film kedua adalah “The Handmaiden” ( 2016 ), berlatar tahun 1930-an,  diceritakan Kouzuki, seorang Jepang yang tergila-gila mengkoleksi buku hingga rela menukar tambang emas dengan buku. Namun dia bekerjasama dengan seorang penipu, count Fujiwara untuk memalsukan buku guna dijual mahal pada kolektor lainnya. Salah satu buku yang dipalsu, di dalamnya terlukiskan “The Dream of the Fisherman’s Wife” oleh Katsushika Hokusai.  Saya baru tahu nama senimannya setelah mendampingi anak belajar picture study ( saat itu kami membaca lukisan “The Great Wave”).  Namun pada lukisan palsu, penipu menambahkan anting-anting pada sosok wanitanya, dan lagi-lagi saya baru tahu setelah melihat gambar yang asli. Sebagai penonton awam kita disajikan pada dua lukisan yang sangat kontras, satu sangat sopan, sedangkan satunya sangat eksplisit dan vulgar. Seniman yang satu dari Barat dan yang satu  dari Timur,  walaupun mereka hidup di tahun yang tidak beda jauh.  Baik Whistler maupun Hokusai hingga kini namanya tetap dikenal dalam sejarah, menginspirasi seniman generasi selanjutnya. Karya mereka mengandung nilai sejarah, budaya dan filosofi masing-masing, yang tidak mampu dipahami hanya dalam satu lirikan mata.

Menurut Albert Camus saat menerima hadiah Nobel pada tahun 1957, seni bukanlah suatu kegembiraan yang dinikmati seorang diri. Seniman tidak bisa hidup tanpa keindahan. Dia juga tidak mungkin bisa melepaskan diri dari kelompok masyarakatnya. Seniman berada di tengah-tengah keduanya, lebih mengharuskan diri untuk mengerti daripada menentukan baik-buruknya.

 

Indri – Juli 2020

Yang masih belajar merangkak


Tidak ada komentar:

Posting Komentar