Rabu, 01 Juli 2020

Beda Sudut Beda Keindahan ( Narasi Seni Bagian 3 )

Musim semi tahun 2017 , saya bersama seorang teman menginjakkan kaki pertama kali di Narita. Sambil mengumpulkan nyawa setelah 7 jam lebih duduk manis menunggangi pesawat dari Denpasar, kami mencari makan di sekitar bandara. Sebagai backpacker, harus bertahan hidup dengan memilih menu seirit mungkin. Pilihan jatuh pada salah satu resto udon, singkatnya saya memilih menu udon yang termurah, harganya tidak sampai 300 yen, sebuah menu udon tanpa daging , disertai kangkung sebagai penggantinya. Saya tambahkan kremes dan kuah hangat pada mangkuk udon yang sudah di tangan. Setelah itu kami memilih tempat duduk dekat jendela. Setelah berdoa, langsung udon saya nikmati.  Rasanya sungguh nikmat , meyeruput kuah gurih hingga berbunyi slurrrppp..., menggigit tekstur krenyes-krenyes , sambil mengamati dari kaca jendela,  puluhan  pesawat yang naik-turun bergantian di landasan. .

Cacing-cacing dalam perut sudah bisa diajak kompromi, kami melanjutkan eksplorasi bandara karena masih menunggu teman dari teman saya di penerbangan berikutnya. Seperti biasa, saya membunuh kebosanan dengan jepret sana sini. Sambil terus berjalan, dan sesekali melihat etalase-etalase toko, sampailah kami di suatu sudut dengan hall di bagian bawah. 


Di seberang sisi  saya melihat ada sebuah ruangan seperti los-los-an toko membuka pintu rolling, terlihat di dalamnya ada bingkai-bingkai foto terpajang di dinding. Saya mendekat untuk mencari tahu, seorang  om dengan ramah menyambut ramah dengan bahasa Jepang yang saya tidak mengerti , sambil mempersilahkan kami masuk. Bapak itu kemudian memanggil rekannya, seorang  tante yang ternyata bisa berbahasa mandarin, walaupun sama-sama tidak fasih kami berhasil berkomunikasi dengan tambahan bahasa tarzan. Tante berbadan mungil dan memakai topi, dengan ramah menjelaskan kalau sedang diadakan pameran foto bertema Fuji-san ( Gunung Fuji ), mereka hanyalah para penikmat fotografi yang ingin berbagi keindahan Gunung Fuji. Meskipun mengambil objek yang sama, tetapi tidak ada satupun foto yang sama persis.
  
Ada yang diambil dari kejauhan , ada pula yang difokuskan pada puncak
Ada yang ditembak dari Kawaguchiko, ada pula yang disorot dari Puncak Tenjo. 
Ada yang diabadikan dengan hamparan Sakura, ada pula yang dikelilingi oleh Lavender.
Ada yang dihiasi daun warna-warni, ada pula yang diselimuti warna putih.
Ada yang bermandikan cahaya matahari, ada pula yang diselubungi kegelapan senja.



Berfoto bersama dengan tante pendamping
dan karyanya ( foto di atas tante )

Saya tidak dapat mengatakan mana yang bagus mana yang tidak, masing-masing mempunyai keunikan sendiri. Mengutip dari pernyataan Robert Browning pada CM Volume 6 halaman 215 "Kita belajar melihat keindahan sesuatu setelah sesuatu itu dilukis".

Apakah pernyataan itu juga bisa dipakai dalam konteks foto / fotografi ? Kalau saya pribadi membenarkan, karena seperti arti fotografi sendiri itu berarti "melukis" dengan cahaya ( hahaha semacam pembenaran dirikah ? )

Pada narasi sebelumnya, saya pernah membaca karya Katsushika Hokusai yang terkenal dengan "The Great Wave" dimana juga melukiskan Gunung Fuji sebagai latar sedangkan nelayan dan ombak besar di depannya, suatu lukisan yang sangat termasyur. Ternyata Hokusai tidak hanya satu kali melukis Gunung Fuji, tercatat ada 36 lukisan bertema Gunung Fuji yang jumlah sesungguhnya menjadi 46 lukisan , disebut sebagai "Thirty-six Views of Mount Fuji"  dimana "The Great Wave" termasuk di dalamnya. Sama halnya dengan foto-foto di atas yang menampilkan Gunung Fuji dalam berbagai musim dan kondisi cuaca, dalam framing yang berbeda, serta dari berbagai tempat dan jarak. Walaupun efek dramatisasi dan nilai sejarah lukisan Hokusai jelas lebih bisa dirasakan.

Bagi orang Jepang , Gunung Fuji sudah merupakan pemandangan sehari-hari, tapi tetap saja saat dilukiskan, bisa menangkap kesan yang berbeda. Hal yang sama dirasakan oleh para ibu di sekolah CM saat membahas lukisan "Evening" karya Jean B. Corot, salah seorang ibu bercerita bahwa dia sudah akrab dengan objek yang di lukisan, tapi saat melihatnya dalam bentuk lukisan, dia merasakan sensasi yang berbeda, merasakan ada kesegaran bagaikan seekor domba di padang berumput hijau. Begitulah seni, tidak dibutuhkan terlalu banyak teori dan pengetahuan, biarkan sang seniman menyampaikan langsung kisahnya, dan lewat indera penglihatan kita berelasi dengannya.

 
 
Indri - Juli 2020


Tidak ada komentar:

Posting Komentar